JAKARTA, gen-idn.com – Pemerintah diminta harus segera membenahi sarana laboratorium karantina Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar lebih modern sesuai standar negara maju, sehingga produk udang dan biota ekspor Indonesia bisa diterima di pasar global.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum (Waketum) Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), Darwis Ismail ST,MM merespons soal udang Indonesia terkontaminasi zat radiokatif sehingga ditolak sejumlah negara tujuan ekspor.
Mengapa laboratorium karantina mesti dibenahi? “Karena negara-negara tujuan ekspor utama (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, China) memiliki standar keamanan pangan (food safety) yang sangat tinggi. Karena itu, laboratorium karantina kita harus menyesuaikan dengan standar itu dan menjadi “garda terdepan” untuk memastikan produk memenuhi standar ini sebelum kapal berangkat,” kata Darwis saat dihubungi Rabu, (10/9/2025) di Jakarta.
Menurut dia, dengan moderninasi laboratorium karantina, diharapkan mampu “mendeteksi” residu antibiotik, logam berat (seperti merkuri dan timbal), histamin (pada ikan), pestisida dan racun alami (seperti algal toxins) pada level yang sangat rendah (parts per billion/billion).
Selain itu, faktor keamanan mikrobiologis juga terjaga. Karena dapat menguji adanya bakteri patogen berbahaya seperti Salmonella, Vibrio cholerae, Listeria monocytogenes dan E. coli yang menjadi perhatian utama bagi importir.
Dia mengingatkan konsekuensi kerugian akibat penolakan yang langsung diterima jika laboratorium kita tidak memadai.
Pertama, jika satu kontainer udang ditolak di pelabuhan tujuan, eksportir merugi miliaran rupiah untuk biaya produk, pengapalan dan pembuangan.
Kedua, mencoreng reputasi nasional. Di mana setiap penolakan dicatat dalam sistem peringatan internasional (seperti RASFF di Uni Eropa). Reputasi Indonesia sebagai “negara pemasok yang bermasalah” akan melekat. Importir akan menjauhi produk Indonesia karena dianggap berisiko tinggi. Membangun kembali reputasi yang rusak membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar.
Untuk Konfirmasi
Kemudian, menurut Darwis, dengan laboratorium yang canggih, Indonesia tidak perlu lagi mengirim sampel ke luar negeri untuk konfirmasi, yang memakan waktu dan biaya, serta berpotensi membocorkan data sensitif.
Dengan begitu, penerbitan sertifikat kesehatan (health certificate) menjadi kredibel yang dikeluarkan otoritas karantina Indonesia dan menjadi “paspor” bagi produk perikanan untuk masuk ke negara lain.
Negara importir hanya akan mempercayai sertifikat kita jika mereka yakin laboratorium kita memiliki kompetensi dan akreditasi internasional (misalnya ISO/IEC 17025). “Tanpa ini, sertifikat kita dianggap sebagai selembar kertas tanpa dasar ilmiah yang kuat,” jelasnya.
Faktor lain dengan pembenahan dan modernisasi laboratorium karantina kita, lanjut Darwis, mencegah masuknya penyakit yang dapat mematikan ekspor. Ini khususnya kritikal untuk komoditas udang dan ikan budidaya.
Dapat mendeteksi dini dan akurat patogen. Di mana virus seperti “white spot syndrome virus (WSSV)” pada udang atau “koi herpesvirus (KHV)” pada ikan adalah momok yang ditakuti.
Melindungi industri domestik. Jika suatu negara terkontaminasi penyakit dari impor Indonesia, mereka akan langsung memberlakukan embargo (larangan impor) total. Embargo ini tidak hanya mematikan akses pasar untuk sementara, tetapi bisa berlangsung bertahun-tahun. “Satu kesalahan dapat menghancurkan seluruh industri ekspor udang nasional,” tukasnya.
Faktor lain kecepatan hasil uji (turn around time – TAT). Laboratorium yang terotomatisasi dan menggunakan metode mutakhir dapat memberikan hasil dalam hitungan jam, bukan hari. Ini sangat penting untuk komoditas segar dan beku yang membutuhkan keputusan cepat.
Kemudian mengurangi biaya logistik. Proses karantina yang lambat karena menunggu hasil uji menyebabkan “demurrage” (biaya tambat kapal) yang tinggi. Laboratorium cepat membuat proses ekspor menjadi lancar dan efisien, menekan biaya secara keseluruhan.
Alat Pemasaran Yang Powerfull
Tujuan lain modernisasi laboratorium kita, menurut Darwis, sebagai “value added dan “marketing tool”. Di mana hasil uji dari laboratorium berstandar internasional dapat menjadi alat pemasaran yang powerfull.
Eksportir dapat menyertakan sertifikat analisis yang menunjukkan bahwa produk mereka bebas dari residu berbahaya dan patogen. Ini menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) di pasar global yang semakin ketat.
Selain itu, terciptanya brand image “Indonesia Quality”. Konsisten menghasilkan produk yang aman dan berkualitas tinggi akan membangun merek Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan premium yang terpercaya.
Pada bagian akhir Darwis mengatakan bagi pemerintah dalam hal ini KKP membenahi laboratorium karantina bukanlah proyek infrastruktur biasa. Tapi ini adalah investasi strategis.
Yang tujuannya pertama, melindungi devisa negara dari kerugian akibat penolakan ekspor. Kedua, melindungi reputasi bangsa di mata komunitas global. Ketiga, melindungi industri domestic dari embargo dan wabah penyakit. Keempat, meningkatkan nilai ekspor dengan menjual produk yang lebih aman, berkualitas dan dipercaya.
“Tanpa laboratorium karantina yang berstandar maju, ekspor udang dan biota Indonesia ibarat “berjudi”,” tuturnya mengingatkan.
Kita berharap produk kita lolos pemeriksaan di negara tujuan, tanpa memiliki bukti ilmiah yang kuat di dalam negeri.
“Namun dalam perdagangan global modern yang ketat, strategi seperti ini sangat berisiko dan pasti akan berujung pada penolakan yang merugikan,” tegasnya.
RM
“Satu kesalahan dapat menghancurkan seluruh industri ekspor udang nasional,” tukasnya. Foto: RM.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com