Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Gen-idn.com – Akhir-akhir ini publik kembali gaduh soal gaji dan fasilitas anggota DPR RI. Media sosial riuh, warung kopi ramai membicarakannya. Bagi rakyat kecil yang tengah bergelut dengan harga beras mahal, tarif listrik naik dan biaya hidup kian menekan, gaji wakil rakyat terlihat begitu besar. Menurut data resmi Sekretariat Jenderal, total gaji pokok, tunjangan, serta berbagai fasilitas seorang anggota DPR mencapai lebih dari Rp 64 juta per bulan, belum termasuk fasilitas rumah dinas, mobil dinas, perjalanan dinas, hingga dana aspirasi yang jika dihitung total nilainya bisa mendekati Rp250 juta per bulan.
Namun sesungguhnya, di balik riuh pembahasan angka-angka itu, tersembunyi kepalsuan yang jarang dibicarakan secara jujur. Kepalsuan itu adalah bahwa gaji dan fasilitas resmi hanyalah “permukaan”, sementara “dasarnya” adalah biaya politik yang amat besar dan logika pengembalian modal yang tak pernah terucapkan.
Satu studi LIPI menyebut bahwa untuk menjadi calon anggota legislatif DPR, seseorang rata-rata harus mengeluarkan biaya miliaran rupiah. Biaya ini meliputi mahar politik kepada partai, ongkos kampanye, hingga praktek yang lebih kasar seperti “serangan fajar”.
Menurut riset Transparency International Indonesia (2023), ongkos politik untuk meraih satu kursi DPR RI di tingkat pusat bisa menelan Rp5–10 miliar, bahkan ada yang lebih. Bandingkan dengan total gaji dan tunjangan resmi yang diterima selama lima tahun menjabat, yang jika dikalkulasi hanya sekitar Rp3,6 miliar. Artinya, secara logika ekonomi sederhana, menjadi anggota DPR RI itu adalah bisnis merugi alias besar pasak daripada tiang.
Tentu ketika orang berbondong-bondong, bahkan mati-matian, untuk mengejar jabatan ini menyimpan pertanyaan besar. Apakah benar semata-mata demi pengabdian? Rasanya terlalu naif jika kita percaya begitu saja.
Logika ekonomi berkata, tidak ada pengusaha yang mau menanam modal miliaran rupiah tanpa hitungan pengembalian. Maka kepalsuan itu bersembunyi di sini: gaji dan tunjangan hanyalah pengalih perhatian, sementara sumber pengembalian modal sesungguhnya ada pada kuasa yang melekat di balik jabatan.
Kuasa itu ada dalam hak legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Dengan kuasa membuat dan menyetujui regulasi, membuka atau menutup kran anggaran, hingga mengawasi jalannya program, anggota DPR memiliki posisi strategis untuk bertransaksi. Tidak sedikit regulasi lahir bukan dari kebutuhan rakyat, melainkan dari pesanan pihak-pihak berkepentingan yang siap membayar. Dalam bahasa populer, praktik ini disebut “jual beli pasal”.
Selain itu, fungsi penganggaran juga membuka ruang bagi transaksi gelap. Anggaran bisa diselipkan, dimark-up, atau diarahkan ke program tertentu sesuai kepentingan pihak yang memberikan imbalan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali mengungkap kasus semacam ini, dari proyek pembangunan infrastruktur hingga pengadaan barang dan jasa. Semua berujung pada satu hal: upaya anggota DPR menutup biaya politik dan mengembalikan modal, lengkap dengan margin keuntungan.
Skenario serupa terjadi di eksekutif. Presiden, gubernur, bupati, hingga wali kota yang juga mengeluarkan biaya besar untuk menang pemilu, pada gilirannya akan memanfaatkan kewenangan mereka terhadap anggaran dan program untuk menutup modal politik. Mereka bekerjasama dengan legislatif dan para pengusaha besar. Maka terbentuklah segitiga patron-klien antara politisi, pejabat eksekutif dan oligarki bisnis. Dari sini lahir kongkalikong, kartelisasi proyek dan manipulasi kebijakan yang lebih menguntungkan para sponsor ketimbang rakyat.
Asal Jadi
Akibatnya nyata, kualitas kebijakan publik merosot. Banyak program pemerintah yang sekadar menjadi bancakan. Anggaran bansos dipakai sebagai alat politik, proyek infrastruktur dipotong anggarannya sehingga hasilnya asal jadi, hingga kebijakan impor pangan yang merugikan petani lokal tapi menguntungkan importir besar.
Dalam skala mikro, rakyat menghadapi kualitas layanan publik yang rendah. Dalam skala makro, ekonomi rakyat tersungkur karena kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan oligarki.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat didorong menjadi pragmatis. Mereka rela menerima politik uang saat pemilu karena sudah mahfum bahwa pejabat hanya peduli pada kepentingan diri sendiri setelah terpilih. Lingkaran setan terbentuk: rakyat pragmatis, politisi transaksional dan pkutokrat kian kokoh mengendalikan arah negara.
Solusi atas persoalan ini jelas bukan sekadar memangkas gaji pejabat. Mengurangi gaji hanya akan memperparah insentif bagi mereka untuk mencari jalan lain menutup ongkos politik. Solusi harus diarahkan pada pembenahan sistem politik dan ekonomi yang mendasarinya.
Pertama, biaya politik harus diturunkan secara drastis. Salah satunya dengan membangun sistem pendanaan partai politik yang sehat, transparan dan berbasis iuran publik, bukan dari mahar calon legislatif atau modal oligarki. Negara bisa memberi bantuan keuangan yang proporsional dengan suara yang diraih, seperti praktek di banyak negara demokrasi maju. Dengan begitu, partai tidak lagi bergantung pada uang segelintir orang kaya.
Kedua, sistem pemilu perlu direformasi. Sistem proporsional terbuka yang memicu ongkos besar harus dikaji ulang. Desain pemilu yang lebih sederhana dan murah akan memotong biaya kampanye serta mengurangi kebutuhan politik uang.
Ketiga, mekanisme participatory budgeting harus diperluas. Anggaran negara bukan hanya milik elit politik, tetapi milik rakyat. Maka proses penyusunannya sebaiknya dilakukan bersama masyarakat di tingkat akar rumput. Anggaran untuk kampung kumuh, misalnya, dibicarakan bersama warga kampung, bukan hanya di gedung parlemen. Dengan begitu, ruang bagi manipulasi dan transaksi gelap bisa dipersempit.
Keempat, pengawasan publik harus diperkuat. Peran KPK, BPK dan lembaga pengawas lain sangat penting, tetapi tidak cukup. Rakyat harus didorong untuk mengontrol jalannya kebijakan melalui akses data yang terbuka dan mudah dipantau. Transparansi adalah musuh utama kepalsuan.
Pada akhirnya, masalah gaji pejabat bukanlah soal besar atau kecilnya angka. Masalah yang lebih mendasar adalah kepalsuan yang tersembunyi di balik sistem politik kita yang mahal dan transaksional. Selama biaya politik tinggi, gaji pejabat sekadar pengalih perhatian dari transaksi yang jauh lebih besar dan merugikan rakyat.
Menjadi pejabat publik seharusnya adalah jalan pengabdian, bukan bisnis untuk mengembalikan modal. Kita membutuhkan keberanian moral dari para pemimpin untuk menolak kepalsuan itu. Jika tidak, sejarah bangsa sudah berulang kali mengajarkan, kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan akan runtuh oleh gelombang kekecewaan rakyat. Ketika gelombang itu datang, gaji, fasilitas, bahkan kursi kekuasaan tak lagi sanggup melindungi mereka.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com